Bekal Pendidikan Demokrasi di Sekolah Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Literasi kewargaan melalui pendidikan yang wajib diberikan kepada siswa lewat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas dinilai masih menitikberatkan pada pengetahuan semata. Selain itu, pembahasan materi kewargaan tidak proporsional, tidak kontekstual, serta tidak eksploratif. Padahal, pendidikan memiliki peran penting untuk menyiapkan warga yang berdaya sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam sistem demokrasi.
Lukman Solihin, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan pada Badan Penelitian Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, pada diskusi dan peluncuran buku berjudul Membentuk Warga Negara yang Demokratis Melalui Pendidikan, Rabu (30/6/2021), mengatakan, dunia pendidikan sendiri belum sepenuhnya menerapkan dan menjunjung nilai-nilai demokratis. Perlu penguatan literasi kewargaan untuk membentuk insan demokrasi di masa depan. Di dunia pendidikan, salah satunya lewat mata pelajaran wajib Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Dari kajian bertajuk Konstruksi Literasi Kewarganegaraan dalam mata pelajaran PPKn jenjang SD, SMP, dan SMA, dilakukan telaah terhadap materi di kurikulum dan buku teks PPKn. Literasi kewargaan yang dikaji tentang demokrasi/hukum, kewarganegaraan/hak asasi, dan masyarakat sipil (civil society), baik dari pengetahuan, keterampilan, maupun disposisi. Terlihat, materi civil society yang menjadi salah satu fondasi penting lebih dominan diajarkan di SD, semakin minim di jenjang berikutnya, bahkan di SMA berkisar 1 persen.
Dengan bekal kesadaran kritis dan partisipasi aktif, anak muda seperti Greta bisa didengar suaranya untuk memperjuangkan keselamatan lingkungan hidup.
Menurut Lukman, dari kajian ini didapatkan temuan bahwa secara substansi, konten materi pendidikan kewarganegaraan pada mata pelajaran PPKn cenderung tidak berimbang. Ini terutama untuk aspek civil society yang lebih banyak di SD, tetapi minim di SMP dan SMA. Selain itu, pembahasan materi adakalanya tidak kontekstual, tidak berimbang, dan kurang eksploratif.
”Narasi tentang hak dan kewajiban, umumnya lebih dominan tentang kewajiban. Eksplorasi masih terbatas dan sepotong-sepotong. Beberapa isu penting seperti konflik belum muncul dibahas,” tutur Lukman.
DOKUEMENTASI KEMDIKBUDRISTEK
Lukman Solihin, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan pada Badan Penelitian Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek.
Menurut Lukman, ada sejumlah isu penting yang absen, padahal dekat dengan kehidupan keseharian anak, seperti hak anak, kesetaraan jender, hak bagi penyandang disabilitas, dan kebinekaan global.
Kesadaran kritis
Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia Satriwan Salim mengatakan, pembelajaran PPKn menjadi kesempatan untuk membangun kesadaran kritis dalam diri siswa. Dengan slogan Merdeka Belajar, hal ini dimulai dari guru merdeka sehingga murid merdeka dalam berpikir dan bersikap. Mereka bisa sadar penuh dengan apa yang dilakukan, melihat persoalan sampai ke akar, dan melakukan tindakan.
Belajar dari sosok Greta Thunberg, remaja asal Swedia yang memulai gerakan penyadaran tentang masalah perubahan iklim di usia 15 tahun, ujar Satriwan, tindakannya ini didorong adanya kesadaran kritis. Hal ini bisa muncul karena pendidikan yang juga mendorong siswa untuk bersikap kritis. Dengan bekal kesadaran kritis dan partisipasi aktif, anak muda seperti Greta bisa didengar suaranya untuk memperjuangkan keselamatan lingkungan hidup.
Namun, dari kajian literasi digital yang dilakukan Microsoft yang menyebut netizen atau warganet Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara, lanjut Satriwan, kenyataan ini perlu mendorong para guru untuk memikirkan ulang apakah sudah memberi pendidikan kewarganegaraan yang baik di sekolah. Dari survei yang dilakukan, PPKn justru dinilai sebagai pelajaran yang tidak disukai. Padahal, PPKn penting bukan hanya sebagai pelajaran, melainkan juga untuk membangkitkan partisispasi warga negera di segala bidang.
”PPKn termasuk bukan pelajaran favorit buat siswa. Hal ini harus jadi refleksi dan kontemplasi sebagai guru. Materi PPKn memang padat dan sering kali penyampaian guru kurang menarik,” kata Satriwan.
Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), guru menggelar pembelajaran dengan model siswa memberikan pemaparan dan pendapat, lalu diselingi dengan tanya jawab antarsiswa, di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019). Guru hanya bersifat sebagai penguat untuk menggali potensi siswa. Sekolah ini menerapkan pembelajaran berbasis ”High Order Thinking Skills” atau keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Sementara itu, Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, peserta didik banyak melihat kontradiksi dari yang ada di buku dengan apa yang dihadapi di masyarakat dan media sosial. ”Jadi, tantangan bagi guru lewat pelajaran PPKn untuk bisa menjelaskan peristiwa yang terjadi dan berdiskusi. Ruang kelas harus bisa jadi perjumpaan bagi keberagaman orang dan pandangan sehingga membangun kemampuan berpikir kritis, tidak menjadi generasi bisu,” ucap Anggi.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, pendidikan juga berperan dalam pembentukan karakter dan diharapkan sesuai dengan demokrasi. Jadi, model pendidikan harus suportif pada demokrasi.
Firman mengatakan, demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Jadi, rakyat harus cerdas dan berdaya. Namun, kenyataannya, justru masyarakat semakin tertinggal. Terjadi post democracy, yakni demokrasi yang ada justru secara substansi pemerintahan yang dikendalikan oleh elite tertentu.
”Saat demokrasi Indonesia dipotret sedang stagnan, jadi jawabannya dengan pendidikan demokrasi untuk menyiapkan masyarakat yang berdaya,” kata Firman.
Kepala Balitbang dan Perbukuan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, pedidikan demokrasi bagian yang esensial dari cita-cita kemerdekaan. Keberhasilan demokrasi deliberatif tergantung dari kapasitas warga negara untuk bernegosiasi dan berdiskusi.
Menurut Anindito, berargumen secara obyektif bukan kemampuan natural atau warisan, melainkan sesuatu potensi yang harus diasah secara sistematis. Sekolah bisa mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi secara cerdas dan sehat untuk demokrasi.
”Konten PPKn dan bagaimana konten diajarkan jadi sumber utama untuk pembelajaran demokrasi di sekolah. Kalau satu cara pandang saja yang diakui sebagai satu-satunya kebenaran dan tidak menawarkan perbedaan yang validatif, bagaimana untuk bisa berdemokrasi dan bermusyarah,” ujar Anindito.