PIER Universitas Paramadina

Ini Alasan Nadiem Makarim Terbitkan Permendikbud 30 Soal Kekerasan Seksual

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan sambutan pada puncak peringatan HUT Ke-74 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 30 November 2019. Acara tersebut mengangkat tema " Peran strategis Guru dalam mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia unggul. ANTARA


TEMPO.COJakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menjelaskan dasar pertimbangan dibuatnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi atau biasa disebut Permendikbud 30.

 

Nadiem menyatakan Indonesia belum memiliki peraturan perundangan yang dapat menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkup kampus. Oleh karena itu, ia menyatakan Permendikbud 30 atau PPKS dibuat untuk mengisi kekosongan dasar hukum yang melindungi kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Pasalnya, peraturan yang ada pada saat ini hanya mencakup perlindungan kekerasan seksual dari kondisi-kondisi tertentu. Ia mencontohkan UU Perlindungan Anak hanya melindungi bagi anak di bawah 18 tahun. Lalu UU PKDRT yang menyasar lingkup rumah tangga.

"Kita punya UU TPPO, tapi itu hanya (membantu korban) yang (terjerat) dalam sindikat perdagangan manusia,” ujar Nadiem dalam diskusi daring pada Jumat, 12 November 2021.

Dengan begitu, menurut Nadiem, masih terdapat kekosongan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, terutama bagi yang berusia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat dalam sindikat perdagangan manusia. “Dan kampus ini masuk dalam kotak ini,” tambahnya.

Di sisi lain, Nadiem menuturkan ada beberapa keterbatasan penanganan kasus kekerasan seksual dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keterbatasan itu ialah tidak memfasilitasi identitas korban, tidak mengenali kekerasan berbasis online atau verbal, dan hanya mengenali bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pencabulan.

Padahal, Nadiem berkata, sivitas akademika dan tenaga pendidikan memiliki rentang usia yang aktif sebagai pengguna media sosial dan platform digital. Ditambah lagi, perkuliahan di kala pandemi Covid-19 juga banyak dilakukan secara online.

Oleh karena itu, ia menekankan dampak lebih lanjut yang dialami bagi korban kekerasan seksual online. “Trauma yang dihadapi dengan kekerasan seksual secara digital itu bahkan sama dampaknya secara psikologis. Bahkan karena ditonton semua orang, teman-teman, dan keluarga, trauma psikologisnya bisa lebih parah,” ujar Nadiem.

“Jadi, ini harus kita masukkan dan konsiderasi bahwa sekarang dengan dunia teknologi, bentuk-bentuk kekerasan seksual yang verbal, non-fisik, dan digital juga harus ditangani segera,” ujar Nadiem Makarim.


0 Komentar

Tulis Komentar